Jumat, 06 November 2015

artikel 4



EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP
A.    Latar Belakang
Pendidikan berfungsi memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan serta membangun kebudayaan dan peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh  karena itu, pendidikan memiliki fungsi kembar (Budhisantoso, 1992;  Pelly, 1992). Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan.   The Third International Mathematics and Science Study Repeat  melaporkan bahwa kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-32 dari 38 negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya adalah gagalnya sektor pendidikan khususnya pendidikan sains dalam menanamkan serta menumbuhkembangkan  pendidikan nilai di sekolah. Hal ini terbukti dari berbagai permasalahan seperti rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir bandang, kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air, dan terakhir luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sudah dua tahun, sampai hari ini belum juga dapat diatasi. Semua permasalahan ini hanya menghasilkan dan menyisakan  kesengsaraan rakyat Indonesia. Adimassana (2000) menambahkan bahwa salah satu penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Zamroni (2000:1) mengemukakan bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada peserta didik, apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar sumbernya dan aplikasinya. Lebih lanjut Suastra (2005) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh dengan nilai-nilai kearifan  lokal  (local genius) diabaikan dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran sains di sekolah. Dengan demikian, pembelajaran sains menjadi ”kering” dan kurang bermakna bagi siswa.  Hal inilah yang perlu mendapat perhatian serius bagi para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan sains di daerah.
B.     Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran berbasis budaya lokal yang efektif dalam meningkatkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) menganalisis perbedaan kompetensi dasar sains siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan belajar dengan model reguler, 2) menganalisis perbedaan prestasi belajar siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler, 3) menganalisis perbedaan kinerja ilmiah siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler.
C.    Metode
Penelitian  ini  merupakan tahap uji coba secara  luas  model pembelajaran berbasis budaya lokal untuk melihat efektivitasnya dalam mengembangkan kompetensi dasar sains. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1,2,3,4,5,dan 6  Singaraja dengan  jumlah 1020 orang yang terdistribusi ke dalam 34 kelas.  Sampel penelitian diambil dengan mengundi kelas sehingga diperoleh 6 kelas eksperimen dan 6 kelas control dengan total sampel 380 orang. Rancangan penelitian menggunakan Pretest-posttes Control Group Disign. Data tentang prestasi belajar sains siswa diambil dengan tes prestasi belajar dengan koefisen reliabiltas sebesar 0,72. Dalam penelitian ini diuji satu hipotesis penelitian dengan uji F dengan menggunakan ANAVA. 
D.    Hasil
Hasil penelitian dengan menggunakan analisis  multivariat menunjukkan bahwa  pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis budaya dibandingkan model pembelajaran reguler pada pembelajaran sains di kelas VII Semester I yang dicapai oleh siswa bila diukur secara statistik, terjadi perbedaan yang signifikan dalam peningkatan prestasi belajar sains siswa pada taraf signifikan 0,05. Hal ini dapat ditunjukkan dengan  nilai statistik F yang diperoleh dari sumber pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar sains siswa  (F = 25,575  ; p < 0,05). Skor statistik ini memiliki makna bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar sains siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan  model pembelajaran berbasis budaya dan model pembelajaran reguler. Di samping itu, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja ilmiah kinerja ilmiah siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan model belajar regular ( F= 24, 219; p< 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka terlihat bahwa model pembelajaran berbasis budaya dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan prestasi belajar sains siswa dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran dengan reguler. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi landasan teoretis, model pembelajaran berbasis budaya dapat membantu siswa dalam menjembatani antara pengetahuan budaya mereka dengan sains di sekolah. Mengawali pembelajaran siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan, ide, pengetahuan dan bahkan keyakinannya terhadap objek atau fenomena alam maupun sosial budaya di sekitar siswa yang terkait dengan pelajaran yang akandipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Ausubel  (dalam Suastra, 2009) yang mentakan bahwa hal yang paling penting dalam belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Hal senada juga dikemukakan oleh George (2001) bahwa guru perlu menggali pandangan dan menjadikan acuan dalam belajar sains yaitu pandangan asli siswa dan pandangan ilmiah tentang dunia secara simultan dalam belajar.  Ogunniyi (dalam Aikenhead, 2000:8) menjelaskan bahwa pandangan asli yang bertentangan dengan pemikiran sains Barat tidak menghalangi pemahaman sains siswa dan bahkan pandangan  asli dan pandangan ilmiah tentang dunia dimungkinkan untuk diajarkan secara simultan. Lebih lanjut, George (2001:3) menyatakan dua hal sebagai berikut. (1) Pada belajar  kolateral paralel (parallel collateral learning),  siswa dapat memiliki kedua skemata  yang hanya sedikit persamaannya (sains aslinya belum dapat dijelaskan sains Barat), dan akan menerima skemata yang terbaik dan  cocok dengan situasi yang dimilikinya. (2) Melalui  belajar kolateral yang menguatkan (secured collateral learning), siswa dapat dengan mudah menyelesaikan konflik skematanya karena hanya sedikit perbedaan. Siswa mungkin akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kedua skemata karena sedikit perbedaan (sains aslinya dapat dijelaskan dengan sains Barat). Dengan demikian, budaya yang dimiliki siswa dalam masyarakat tradisional Bali tidak begitu saja hilang dengan datangnya budaya sains Barat, tetapi dapat berjalan secara paralel dan bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnya (inkulturasi). Dengan demikian, pemahaman siswa akan menjadi lebih baik dan pada akhirnya prestasi belajarnya akan meningkat.
Kedua, pembelajaran berbasis budaya  membuat siswa lebih mandiri dan memberikan peluang siswa untuk lebih mengeksplor kemampuannya sendiri baik itu pengetahuan awal maupun keyakinannya. Selain itu, model pembelajaran berbasis budaya adalah model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, baik ketika jam pelajaran, maupun di luar jam pelajaran. Hal ini dikarenakan siswa dituntut untuk mencari informasi mengenai sesuatu hal di luar jam pelajaran yang kemudian akan dibahas ketika jam pelajaran dimulai. Oleh karena itu, siswa dapat terjun langsung kedunia nyata dan menerapkan konsep-konsep yang ada, sehingga model pembelajaran berbasis budaya mampu menggeser pembelajaran  dari pembelajaran yang menggunakan hafalan menjadi pembelajaran yang menghubungkan suatu konsep dengan fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, model pembelajaran  berbasis  budaya  didisain berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme di mana pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa (student centered), sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan mediator. Guru tidak perlu mentransfer semua pengetahuan kepada pebelajar tetapi mengajak pebelajar untuk berpikir dan mencari jawaban sendiri  atas permasalahan yang diberikan oleh guru maupun pebelajar itu sendiri melalui diskusi kelas maupun diskusi kelompok berdasarkan pengalaman mereka yang telah diperoleh dari kehidupan sehari-hari. 
Berbeda dengan model pembelajaran reguler yang lebih banyak memberi kesempatan kepada guru dalam menyampaikan materi pelajaran secara jelas dan terperinci. Ketika berjalannya jam pelajaran, peran guru sangat dominan di dalam kelas. Peran siswa di sini lebih banyak  mendengarkan penjelasan guru, sehingga siswa sangat pasif dalam kegiatan pembelajaran. Meskipun pada pembelajarannya siswa diberikan kreativitas dengan melakukan eksperimen, tetap saja siswa tidak dapat menuangkan ide yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan guru telah mendisain praktikumnya dan siswa hanya ditunntut untuk mencari jawaban atas persoalan yang diberikan guru.
Model pembelajaran reguler  lebih menekankan pada aktivitas guru (teacher centered). Langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran reguler yaitu: (1) penyajian materi pelajaran oleh guru secara jelas dan terperinci, (2) siswa melakukan percobaan berdasarkan petunjuk LKS dan bimbingan guru, dan (3) kegiatan diskusi yang dipimpin oleh guru. Berdasarkan hal ini, proses belajar sebagian masih merupakan tanggung jawab guru. Meskipun dalam pembelajaran reguler digunakan metode selain ceramah seperti praktikum dan dilengkapi atau didukung dengan penggunaan media, penekanannya tetap  pada proses penerimaan pengetahuan (materi pelajaran) bukan pada proses pencarian dan konstruksi pengetahuan. Hal ini mengakibatkan siswa tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam aktivitas nyata sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.
E.     Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan rumusan masalah,  dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, ada empat nilai kearifan lokal yang dapat dikembangkan
dalam enam kompetensi dasar sains seperti  : nilai keharmonisan/ keseimbangan, nilai pelestarian alam atau lingkungan sosial budaya, nilai budaya lokal, nilai tradisi lokal. 
Kedua, terdapat perbedaan yang signifikan  kompetensi dasar sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 38,196; p<0,05). 
Ketiga,  terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 14,121; p<0,05).
Keempat,  terdapat perbedaan yang signifikan  kinerja ilmiah siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 24,219; p<0,05).  Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis budaya lokal cukup efektif digunakan untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar