EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL UNTUK
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP
A.
Latar Belakang
Pendidikan berfungsi memberdayakan
potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan serta membangun kebudayaan dan
peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan
nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk
menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh karena itu, pendidikan memiliki fungsi kembar
(Budhisantoso, 1992; Pelly, 1992).
Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki peran
penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Berbagai permasalahan pendidikan
yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. The Third International Mathematics and
Science Study Repeat melaporkan bahwa
kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-32 dari 38
negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya adalah gagalnya sektor pendidikan
khususnya pendidikan sains dalam menanamkan serta menumbuhkembangkan pendidikan nilai di sekolah. Hal ini terbukti
dari berbagai permasalahan seperti rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan
berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir bandang,
kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air, dan terakhir luapan lumpur
Lapindo di Sidoarjo yang sudah dua tahun, sampai hari ini belum juga dapat
diatasi. Semua permasalahan ini hanya menghasilkan dan menyisakan kesengsaraan rakyat Indonesia. Adimassana
(2000) menambahkan bahwa salah satu penyebabnya adalah akibat dari kegagalan
sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Zamroni
(2000:1) mengemukakan bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi sarana
“stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada
peserta didik, apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu
berpusat pada buku (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar
sumbernya dan aplikasinya. Lebih lanjut Suastra (2005) mengatakan bahwa
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh dengan nilai-nilai
kearifan lokal (local genius) diabaikan dalam pembelajaran
khususnya dalam pembelajaran sains di sekolah. Dengan demikian, pembelajaran
sains menjadi ”kering” dan kurang bermakna bagi siswa. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian
serius bagi para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan sains di daerah.
B.
Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan model pembelajaran berbasis budaya lokal yang efektif dalam
meningkatkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Tujuan khusus
penelitian ini adalah 1) menganalisis perbedaan kompetensi dasar sains siswa
antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan belajar
dengan model reguler, 2) menganalisis perbedaan prestasi belajar siswa antara
yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler, 3)
menganalisis perbedaan kinerja ilmiah siswa antara yang belajar dengan model
pembelajaran berbasis budaya dan model reguler.
C.
Metode
Penelitian ini
merupakan tahap uji coba secara
luas model pembelajaran berbasis
budaya lokal untuk melihat efektivitasnya dalam mengembangkan kompetensi dasar
sains. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1,2,3,4,5,dan
6 Singaraja dengan jumlah 1020 orang yang terdistribusi ke dalam
34 kelas. Sampel penelitian diambil
dengan mengundi kelas sehingga diperoleh 6 kelas eksperimen dan 6 kelas control
dengan total sampel 380 orang. Rancangan penelitian menggunakan Pretest-posttes
Control Group Disign. Data tentang prestasi belajar sains siswa diambil dengan
tes prestasi belajar dengan koefisen reliabiltas sebesar 0,72. Dalam penelitian
ini diuji satu hipotesis penelitian dengan uji F dengan menggunakan ANAVA.
D.
Hasil
Hasil penelitian dengan menggunakan
analisis multivariat menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis budaya dibandingkan model pembelajaran reguler pada
pembelajaran sains di kelas VII Semester I yang dicapai oleh siswa bila diukur
secara statistik, terjadi perbedaan yang signifikan dalam peningkatan prestasi
belajar sains siswa pada taraf signifikan 0,05. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan nilai statistik F yang diperoleh
dari sumber pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar sains
siswa (F = 25,575 ; p < 0,05). Skor statistik ini memiliki
makna bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar sains siswa antara kelompok
siswa yang belajar dengan model
pembelajaran berbasis budaya dan model pembelajaran reguler. Di samping itu,
hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja ilmiah kinerja
ilmiah siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan
model belajar regular ( F= 24, 219; p< 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, maka terlihat bahwa model pembelajaran berbasis budaya dapat
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan prestasi belajar sains
siswa dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran dengan reguler. Hal
ini disebabkan karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi landasan
teoretis, model pembelajaran berbasis budaya dapat membantu siswa dalam
menjembatani antara pengetahuan budaya mereka dengan sains di sekolah.
Mengawali pembelajaran siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan, ide,
pengetahuan dan bahkan keyakinannya terhadap objek atau fenomena alam maupun
sosial budaya di sekitar siswa yang terkait dengan pelajaran yang
akandipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Ausubel (dalam Suastra, 2009) yang mentakan bahwa hal
yang paling penting dalam belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Hal
senada juga dikemukakan oleh George (2001) bahwa guru perlu menggali pandangan
dan menjadikan acuan dalam belajar sains yaitu pandangan asli siswa dan
pandangan ilmiah tentang dunia secara simultan dalam belajar. Ogunniyi (dalam Aikenhead, 2000:8)
menjelaskan bahwa pandangan asli yang bertentangan dengan pemikiran sains Barat
tidak menghalangi pemahaman sains siswa dan bahkan pandangan asli dan pandangan ilmiah tentang dunia
dimungkinkan untuk diajarkan secara simultan. Lebih lanjut, George (2001:3)
menyatakan dua hal sebagai berikut. (1) Pada belajar kolateral paralel (parallel collateral
learning), siswa dapat memiliki kedua
skemata yang hanya sedikit persamaannya
(sains aslinya belum dapat dijelaskan sains Barat), dan akan menerima skemata yang
terbaik dan cocok dengan situasi yang
dimilikinya. (2) Melalui belajar kolateral
yang menguatkan (secured collateral learning), siswa dapat dengan mudah
menyelesaikan konflik skematanya karena hanya sedikit perbedaan. Siswa mungkin
akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kedua skemata karena sedikit
perbedaan (sains aslinya dapat dijelaskan dengan sains Barat). Dengan demikian,
budaya yang dimiliki siswa dalam masyarakat tradisional Bali tidak begitu saja
hilang dengan datangnya budaya sains Barat, tetapi dapat berjalan secara
paralel dan bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnya
(inkulturasi). Dengan demikian, pemahaman siswa akan menjadi lebih baik dan
pada akhirnya prestasi belajarnya akan meningkat.
Kedua, pembelajaran berbasis
budaya membuat siswa lebih mandiri dan
memberikan peluang siswa untuk lebih mengeksplor kemampuannya sendiri baik itu
pengetahuan awal maupun keyakinannya. Selain itu, model pembelajaran berbasis
budaya adalah model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, baik ketika
jam pelajaran, maupun di luar jam pelajaran. Hal ini dikarenakan siswa dituntut
untuk mencari informasi mengenai sesuatu hal di luar jam pelajaran yang
kemudian akan dibahas ketika jam pelajaran dimulai. Oleh karena itu, siswa
dapat terjun langsung kedunia nyata dan menerapkan konsep-konsep yang ada, sehingga
model pembelajaran berbasis budaya mampu menggeser pembelajaran dari pembelajaran yang menggunakan hafalan
menjadi pembelajaran yang menghubungkan suatu konsep dengan fakta yang ada
dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, model pembelajaran berbasis
budaya didisain berdasarkan
prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme di mana pengetahuan dibangun
sendiri oleh siswa (student centered), sedangkan guru hanya sebagai fasilitator
dan mediator. Guru tidak perlu mentransfer semua pengetahuan kepada pebelajar
tetapi mengajak pebelajar untuk berpikir dan mencari jawaban sendiri atas permasalahan yang diberikan oleh guru
maupun pebelajar itu sendiri melalui diskusi kelas maupun diskusi kelompok
berdasarkan pengalaman mereka yang telah diperoleh dari kehidupan
sehari-hari.
Berbeda dengan model pembelajaran
reguler yang lebih banyak memberi kesempatan kepada guru dalam menyampaikan
materi pelajaran secara jelas dan terperinci. Ketika berjalannya jam pelajaran,
peran guru sangat dominan di dalam kelas. Peran siswa di sini lebih banyak mendengarkan penjelasan guru, sehingga siswa
sangat pasif dalam kegiatan pembelajaran. Meskipun pada pembelajarannya siswa
diberikan kreativitas dengan melakukan eksperimen, tetap saja siswa tidak dapat
menuangkan ide yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan guru telah mendisain
praktikumnya dan siswa hanya ditunntut untuk mencari jawaban atas persoalan
yang diberikan guru.
Model pembelajaran reguler lebih menekankan pada aktivitas guru (teacher
centered). Langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran reguler
yaitu: (1) penyajian materi pelajaran oleh guru secara jelas dan terperinci,
(2) siswa melakukan percobaan berdasarkan petunjuk LKS dan bimbingan guru, dan
(3) kegiatan diskusi yang dipimpin oleh guru. Berdasarkan hal ini, proses
belajar sebagian masih merupakan tanggung jawab guru. Meskipun dalam
pembelajaran reguler digunakan metode selain ceramah seperti praktikum dan
dilengkapi atau didukung dengan penggunaan media, penekanannya tetap pada proses penerimaan pengetahuan (materi
pelajaran) bukan pada proses pencarian dan konstruksi pengetahuan. Hal ini
mengakibatkan siswa tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki
ke dalam aktivitas nyata sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
rumusan masalah, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, ada empat nilai kearifan
lokal yang dapat dikembangkan
dalam enam kompetensi dasar sains seperti : nilai keharmonisan/ keseimbangan, nilai
pelestarian alam atau lingkungan sosial budaya, nilai budaya lokal, nilai
tradisi lokal.
Kedua, terdapat perbedaan yang
signifikan kompetensi dasar sains antara
kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal
dengan model pembelajaran reguler (F = 38,196; p<0,05).
Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan prestasi
belajar sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran
berbasis budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 14,121;
p<0,05).
Keempat, terdapat perbedaan yang signifikan kinerja ilmiah siswa antara kelompok siswa
yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dengan model
pembelajaran reguler (F = 24,219; p<0,05).
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis
budaya lokal cukup efektif digunakan untuk mengembangkan kompetensi dasar sains
dan nilai kearifan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar